Hukum jual beli barang artifasial dan bohongan / kw - Apakah kita diperbolehkan menjual suatu produk atau barang artifasial dan bohongan /imitasi/ KW ? Dalam islam wacana perdagangan sudah dijelaskan dan diatur dengan sangat terperinci semoga tidak saling merugikan antaran pihak penjual dan pembeli. Dalam jual beli ada tiga prinsip utama yang harus menjadi landasan oleh pedagang / penjual.
1. Tidak mengambil hak orang lain tanpa izin;2. Tidak menipu atau membohongi konsumen;
3. Tidak menyelisihi aturan pemerintah yang wajib ditaati, selama itu bukan maksiat
1. TIDAK BOLEH MENGAMBIL HAK ORANG LAIN TANPA IZIN
Kita tidak boleh melanggar hak orang lain tanpa izin termasuk dalam problem merek. Dalam kaedah fikih disebutkan
لاَ يَجُوْزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بِلاَ إِذْنٍ
“Tidak boleh seseorang memanfaatkan kepemilikian orang lain tanpa izinnya.” (Lihat Ad Durul Mukhtaar fii Syarh Tanwirul Abshor pada Kitab Ghoshob, oleh ‘Alaud-din Al Hashkafiy)
Di antara pendapat kaedah tersebut yaitu hadits memberikankut, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridha pemiliknya.” (HR. Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi)
2. LARANGAN MEMBOHONGI KONSUMEN
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, kemudian dia memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan dia menyentuh sesuatu yang basah, maka pun dia bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya mentpendapat, “Makanan tersebut mengenai air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kau tidak meletakkannya di bab masakan semoga insan sanggup melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102).
Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu memperlihatkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
3. TIDAK BOLEH MENYELISIHI ATURAN PEMERINTAH
Jika ada aturan pemerintah, atau undang-undang yang dibentuk dan sifatnya mubah, tidak menyelisihi ketentuan Allah, aturan tersebut harus dijalankan.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali bila diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh mendapatkan perintah tersebut dan tidak boleh taat.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839).
Undang-Undang Mengenai Merek
Mengenai perdagangan produk atau barang artifasial dan bohongan atau yang juga dikenal dengan barang “KW”, dalam Pasal 90 – Pasal 94 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 wacana Merek (“UU Merek”) diatur mengenai tindak pidana terkait merek:
# Pasal 90
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memakai Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa homogen yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
# Pasal 91
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memakai Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa homogen yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling usang 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
# Pasal 92
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memakai tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau homogen dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).(2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memakai tanda yang pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau homogen dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling usang 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).(3) Terhadap pencantuman asal sebetulnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang memperlihatkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi menurut indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
# Pasal 93
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memakai tanda yang dilindungi menurut indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga sanggup memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling usang 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
# Pasal 94
(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling usang 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelanggaran Dan secara tegas pula, dalam Pasal 95, UU Merek menggolongkan seluruh tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut sebagai delik aduan, bukan delik biasa. Dalam keilmuan hukum, hal ini berarti bahwa pasal-pasal pidana dalam UU Merek diberlakukan sesudah adanya laporan dari seseorang yang dirugikan atas perbuatan orang lain sehingga terkait delik aduan pun penyidikan kepolisian sanggup tidak boleh hanya dengan adanya penarikan laporan polisi tersebut oleh si pelapor sepanjang belum diperiksa di pengadilan.Tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, hanya sanggup ditindak bila ada aduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini sanggup dilihat dari perumusan Pasal 95 UU Merek:“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan detik aduan.”Ini berarti bahwa penjualan produk atau barang artifasial dan bohongan hanya bisa ditindak oleh pihak yang berwenang bila ada aduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh hal tersebut, dalam hal ini si pemilik merek itu sendiri atau pemegang lisensi (Pasal 76 dan Pasal 77 UU Merek). (Sumber: HukumOnline.Com)Penjelasan Ulama
Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus berkata,“Berdasarkan uraian di atas, siapa saja yang menjual produk imitasi dengan kesan seperti (barang tersebut) orisinil maka dia bukanlah orang yang bisa dipercaya dan bukanlah seorang yang menghendaki kebaikan untuk konsumen. …Penjual produk imitasi itu berdosa. Namun, mengingat bahwa laba yang didapat tidaklah haram lantaran zatnya, maka penjual boleh memanfaatkannya.Adapun terkait dengan produk imitasi yang masih tersisa, maka itu boleh dijual. Dengan syarat, calon pembeli dimemberikantahu bahwa produk tersebut tidaklah asli. Jika sesudah mengetahui kondisi barang yang sebenarnya, dia tetap mau membelinya, maka tidak masalah. Akan tetapi, bila produk imitasi sudah habis terjual, penjual hendaknya menolak untuk membantu produsen imitasi untuk menjualkan produknya.Setiap muslim wajib bertakwa kepada Allah dan menempuh jalan rezeki yang halal, lantaran bertakwa kepada Allah dan menciptakan Allah ridha yaitu alasannya untuk mendapatkan kememperringan dan sepelean dari Allah.”
KESIMPULAN :
1- Siapa yang menjual barang KW (imitasi) dengan menciptakan kesan bahwa seperti barang itu orisinil menyerupai dengan memakai merek terdaftar, tidaklah boleh. Penjual yang melaksanakan menyerupai itu berdosa lantaran melaksanakan penipuan.
2- Jika sudah ada keterusterangan bahwa yang dijual yaitu barang KW (imitasi) dan dipakai merek yang berbeda dengan merek terdaftar, maka tidaklah termasuk pelanggaran, juga tidak melanggar aturan undang-undang. INGAT MERK BERBEDA !!!!
3- Adapun bila yang dijual yaitu dengan merek terdaftar dan penjual terus terang bahwa barang tersebut KW, maka ia melaksanakan pelanggaran: (1) melanggar hak orang lain berupa merek, (2) bagi produsen, menyelisihi peraturan pemerintah.Semoga memberi manfaat. Hanya Allah yang memmemberikan taufik dan hidayah. Wallahu a'lam.
1. Tidak mengambil hak orang lain tanpa izin;2. Tidak menipu atau membohongi konsumen;
3. Tidak menyelisihi aturan pemerintah yang wajib ditaati, selama itu bukan maksiat
1. TIDAK BOLEH MENGAMBIL HAK ORANG LAIN TANPA IZIN
Kita tidak boleh melanggar hak orang lain tanpa izin termasuk dalam problem merek. Dalam kaedah fikih disebutkan
لاَ يَجُوْزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بِلاَ إِذْنٍ
“Tidak boleh seseorang memanfaatkan kepemilikian orang lain tanpa izinnya.” (Lihat Ad Durul Mukhtaar fii Syarh Tanwirul Abshor pada Kitab Ghoshob, oleh ‘Alaud-din Al Hashkafiy)
Di antara pendapat kaedah tersebut yaitu hadits memberikankut, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridha pemiliknya.” (HR. Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi)
2. LARANGAN MEMBOHONGI KONSUMEN
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka” (HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, kemudian dia memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan dia menyentuh sesuatu yang basah, maka pun dia bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya mentpendapat, “Makanan tersebut mengenai air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kau tidak meletakkannya di bab masakan semoga insan sanggup melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no. 102).
Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu memperlihatkan perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
3. TIDAK BOLEH MENYELISIHI ATURAN PEMERINTAH
Jika ada aturan pemerintah, atau undang-undang yang dibentuk dan sifatnya mubah, tidak menyelisihi ketentuan Allah, aturan tersebut harus dijalankan.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali bila diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh mendapatkan perintah tersebut dan tidak boleh taat.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839).
Undang-Undang Mengenai Merek
Mengenai perdagangan produk atau barang artifasial dan bohongan atau yang juga dikenal dengan barang “KW”, dalam Pasal 90 – Pasal 94 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 wacana Merek (“UU Merek”) diatur mengenai tindak pidana terkait merek:
# Pasal 90
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memakai Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa homogen yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
# Pasal 91
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memakai Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa homogen yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling usang 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
# Pasal 92
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memakai tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau homogen dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling usang 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).(2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memakai tanda yang pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau homogen dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling usang 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).(3) Terhadap pencantuman asal sebetulnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang memperlihatkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi menurut indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
# Pasal 93
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memakai tanda yang dilindungi menurut indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga sanggup memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling usang 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
# Pasal 94
(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling usang 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelanggaran Dan secara tegas pula, dalam Pasal 95, UU Merek menggolongkan seluruh tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tersebut sebagai delik aduan, bukan delik biasa. Dalam keilmuan hukum, hal ini berarti bahwa pasal-pasal pidana dalam UU Merek diberlakukan sesudah adanya laporan dari seseorang yang dirugikan atas perbuatan orang lain sehingga terkait delik aduan pun penyidikan kepolisian sanggup tidak boleh hanya dengan adanya penarikan laporan polisi tersebut oleh si pelapor sepanjang belum diperiksa di pengadilan.Tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, hanya sanggup ditindak bila ada aduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini sanggup dilihat dari perumusan Pasal 95 UU Merek:“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan detik aduan.”Ini berarti bahwa penjualan produk atau barang artifasial dan bohongan hanya bisa ditindak oleh pihak yang berwenang bila ada aduan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh hal tersebut, dalam hal ini si pemilik merek itu sendiri atau pemegang lisensi (Pasal 76 dan Pasal 77 UU Merek). (Sumber: HukumOnline.Com)Penjelasan Ulama
Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus berkata,“Berdasarkan uraian di atas, siapa saja yang menjual produk imitasi dengan kesan seperti (barang tersebut) orisinil maka dia bukanlah orang yang bisa dipercaya dan bukanlah seorang yang menghendaki kebaikan untuk konsumen. …Penjual produk imitasi itu berdosa. Namun, mengingat bahwa laba yang didapat tidaklah haram lantaran zatnya, maka penjual boleh memanfaatkannya.Adapun terkait dengan produk imitasi yang masih tersisa, maka itu boleh dijual. Dengan syarat, calon pembeli dimemberikantahu bahwa produk tersebut tidaklah asli. Jika sesudah mengetahui kondisi barang yang sebenarnya, dia tetap mau membelinya, maka tidak masalah. Akan tetapi, bila produk imitasi sudah habis terjual, penjual hendaknya menolak untuk membantu produsen imitasi untuk menjualkan produknya.Setiap muslim wajib bertakwa kepada Allah dan menempuh jalan rezeki yang halal, lantaran bertakwa kepada Allah dan menciptakan Allah ridha yaitu alasannya untuk mendapatkan kememperringan dan sepelean dari Allah.”
KESIMPULAN :
1- Siapa yang menjual barang KW (imitasi) dengan menciptakan kesan bahwa seperti barang itu orisinil menyerupai dengan memakai merek terdaftar, tidaklah boleh. Penjual yang melaksanakan menyerupai itu berdosa lantaran melaksanakan penipuan.
2- Jika sudah ada keterusterangan bahwa yang dijual yaitu barang KW (imitasi) dan dipakai merek yang berbeda dengan merek terdaftar, maka tidaklah termasuk pelanggaran, juga tidak melanggar aturan undang-undang. INGAT MERK BERBEDA !!!!
3- Adapun bila yang dijual yaitu dengan merek terdaftar dan penjual terus terang bahwa barang tersebut KW, maka ia melaksanakan pelanggaran: (1) melanggar hak orang lain berupa merek, (2) bagi produsen, menyelisihi peraturan pemerintah.Semoga memberi manfaat. Hanya Allah yang memmemberikan taufik dan hidayah. Wallahu a'lam.
Advertisement